Wednesday, November 21, 2018

Sekolah Untuk Pengusaha Dan Untuk Buruh Swasta Memangnya Beda ?

Siapa bilang berbeda ?

Para pengusaha dikala bersekolah juga melewati jenjang sekolah yang umum.
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, gres kuliah di Universitas, baik itu S-1 ataupun S-2.
Para karyawan swasta ( baca : buruh ) juga sama. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan ada yang sebagian kuliah di Universitas, S-1 bahkan ada juga yang hingga ke S-2.

Memang para pengusaha – kalau diprosentase – rata-rata mengenyam pendidikan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendidikan yang dienyam para buruh.
Namun tidak sedikit para pengusaha yang hanya berbekal pendidikan SD.
Dan sebaliknya tidak sedikit pula para buruh yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi hingga sarjana, bahkan S-2.
Sekolah untuk pengusaha ?
Kredit picture : m-edukasi.web.id

Jika yang berbeda nama sekolahannya mungkin iya.

Jadi siapa bilang sekolahan antara pengusaha dan para buruh berbeda ?

Bahkan ada juga yang sama-sama mengenyam pendidikan di sekolahan yang sama SD, SMP, hingga Sekolah Menengan Atas , toh pada akhirnya, yang satu sanggup menjadi pengusaha, yang satu “hanya” menjadi buruh swasta.
Siapa bilang berbeda ?

Sekolah untuk buruh ?
Kredit picture : Excat2manza.blogspot
Mau bukti ?

Jika mau sedikit jeli, buktinya bersama-sama malah sudah terpampang di setiap tahunnya.
Tahu maksud saya ?

Di negeri ini setiap tahunnya biasanya akan terjadi atau dilakukan adaptasi ( meskipun seringnya tidak pernah sesuai ) honor buruh.
Maka dari hal itu pula di setiap tahunnya selalu dilakukan perhitungan, berapa prosentase dan atau jumlah kenaikan honor buruh yang akan ditetapkan untuk tahun yang bersangkutan.
Para ( perwakilan ) pengusaha akan menghitung prosentase dan jumlah kenaikan honor yang “harus” diberikan kepada buruh.
Sebaliknya, para ( perwakilan ) buruh juga akan menghitung berapa prosentase dan jumlah kenaikan honor yang “seharusnya” mereka terima.

Dan – konon - berdasarkan aturan, dasar yang dipergunakan untuk menghitung kenaikan honor ini – yaitu standard kelayakan hidup atau standard hidup yang layak – semestinya sama.
Namun apa yang terjadi ?

Dari pengamatan dan pengalamam selama berpuluh-puluh tahun sebagai buruh, FAKTANYA, hasil perhitungan yang didapat antara pengusaha dan buruh, tidak pernah sekalipun sama.

Bahkan sedikit mirip-pun tidak.
Padahal keduanya sama-sama melaksanakan perhitungan dengan dasar yang ( semestinya ) sama .

Hasil perhitungan yang didapat oleh buruh selalu lebih tinggi dari hasil perhitungan yang didapat oleh para pengusaha. Padahal – sekali lagi – dasar yang dipakai ( semestinya ) sama.
Jika perbedaan hasil perhitungan ini terjadi sekali dua kali, mungkin masih maklum dan sanggup diterima.
Sebab sanggup jadi ada salah satu pihak yang kebetulan “salah” dalam menghitung.
Tetapi nyatanya perbedaan hasil perhitungan kenaikan honor ini niscaya terjadi di setiap tahunnya.
Sedangkan masing-masing pihak menyatakan bahwa hasil perhitungan mereka “tidak ada yang salah”.

Kaprikornus apa lagi yang mau dibantah ?

Jika antara pengusaha dan buruh sekolahnya sama, sanggup dipastikan, hasil perhitungan honor dan atau honor untuk standard hidup layak yang mereka sanggup juga sama. Sebab ilmu berhitung seharusnya menawarkan hasil yang sama, alasannya berhitung ialah “exact” pasti. Namun lantaran sekolah antara keduanya – pengusaha dan buruh – tampaknya berbeda, maka hasil perhitungan mereka juga berbeda.

Seperti yang terjadi di setiap tahunnya.
Jadi,….harap maklum saja.

Atau mau tahu yang lebih "ngeri" lagi, menyerupai yang dibawah ini :
> Turut Berduka Cita, Atas masih adanya honor buruh yang minus di jaman Indonesia merdeka

Sumber http://anekacarapraktis.blogspot.com

Artikel Terkait

Sekolah Untuk Pengusaha Dan Untuk Buruh Swasta Memangnya Beda ?
4/ 5
Oleh