Sunday, December 30, 2018

Kisah Ali Bin Abi Thalib Membeberkan Diam-Diam Ashabul Kahfi Kepada 3 Pendeta Yahudi

Dalam Al Alquran terdapat Surat Al Kahfi yang menceritakan riwayat perihal beberapa perjaka bersama anjingnya yang mencari santunan di dalam gua untuk menghindari penguasa yang dzalim.

Yang oleh Allah pemuda-pemuda tersebut kemudian dimatikan, dan dihidupkan kembali setelah 309 tahun.

Apa yang telah dijelaskan dalam Qur’an ini intinya merupakan garis besar kisahnya.
Sehingga untuk memperoleh kisah dan keterangan perihal Ashabul Kahfi secara lengkap memang terdapat penjelasannya tersendiri. Dan waktu itu tidak semua orang mengetahui keseluruhan dari kisah Ashabul Kahfi ini. Sehingga boleh dikata kisah ini termasuk kisah belakang layar ( waktu itu ).

Karena itulah ada tiga orang pendeta Yahudi yang bermaksud untuk menguji.
Dan di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, tiba kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda yakni pemegang kekuasaan sehabis Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa persoalan penting kepada anda.
Jika anda sanggup memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi.
Sebaliknya, kalau anda tidak sanggup memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

Pendeta tersebut kemudian mengajukan sepuluh pertanyaan yang sangat pelik dan rahasia.
Sehingga waktu itu khalifah Umar sendiri bahkan tidak sanggup menjawabnya. Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata:
"Bagi Umar, kalau ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''

Mendengar jawaban Khalifah Umar menyerupai itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata:
"Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu yakni bathil!"

Salman Al-Farisi yang ketika itu hadir, segera bangun dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib.
Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Imam Ali r.a. bingung, kemudian bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab.

Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang menggunakan burdah (selembar kain epilog punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w.
Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari daerah duduk kemudian buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata:
"Silakan kalian bertanya perihal apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu memiliki seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu kemudian mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka.
Namun sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu kalau ternyata saya nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"
"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.

Setelah pendeta Yahudi mengajukan sepuluh pertanyaan, maka dengan lancar dan terang Ali bin Abi Thalib menjawab semua pertanyaan itu.
Sehingga balasannya kedua pendeta Yahudi serta merta menyatakan diri, bersyahadat masuk Islam.
Untuk kisah lebih lengkap sanggup dilihat di bawah ini :

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama menyerupai kepercayaan dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kamu inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba terangkan kepadaku perihal sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat perihal mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab:
"Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat perihal mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar perihal Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal hingga akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, kemudian ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.
Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota berjulukan Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese).
Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, kini terletak di dalam wilayah Turki).

Penduduk negeri itu dahulunya memiliki seorang raja yang baik.
Setelah raja itu meninggal dunia, informasi kematiannya didengar oleh seorang raja Persia berjulukan Diqyanius.
Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia tiba menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan balasannya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, kemudian dibangunlah sebuah Istana."

Baru hingga di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari kerikil marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan homogen minyak yang harum baunya.
Di sebelah timur serambi dibentuk lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari semenjak mulai terbit hingga terbenam selalu sanggup menerangi serambi. Raja itu pun menciptakan sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk.
Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah dingklik terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingankepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga memiliki 50 orang pelayan, terdiri dari belum dewasa para hulubalang. Semuanya menggunakan selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari belum dewasa para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, kalau yang kamu katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing berjulukan Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina.
Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing berjulukan Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan. Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja.
Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan bunyi isyarat, kemudian burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, hingga sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua daerah sekitarnya. Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan bunyi kode lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, hingga wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke daerah sekitarnya. Pembawa burung itu memberi kode bunyi lagi. Burung itu kemudian terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian besar lengan berkuasa dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan banyak sekali macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh.
Oleh lantaran itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya.

Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, hingga ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian murung dan bingungnya raja itu, hingga tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana.

Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan -- seorang cerdas yang berjulukan Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran.
Ia berfikir, kemudian berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar dewa sebagaimana berdasarkan pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di daerah salah seorang dari mereka secara bergiliran.

Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha mendapatkan kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?" "Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."
Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?" "Sudah lama saya memikirkan soal langit," ujar
Tamlikha menjelaskan. "Aku kemudian bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa kondusif dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?'
Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa biar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan saya sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu niscaya ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha kemudian bertekuk lutut di hadapannya.
Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami kini terasa sesuatu menyerupai yang ada di dalam hatimu. Oleh lantaran itu, sepakat engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!" "Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik saya maupun kalian tidak menemukan nalar selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"
"Kami sepakat dengan pendapatmu," sahut teman-temannya. Tamlikha kemudian berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan balasannya berhasil menerima uang sebanyak 3 dirham.
Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda gotong royong dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudara saudara, kita kini sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memperlihatkan jalan keluar."

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, hingga kaki mereka infeksi berdarah lantaran tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka.
Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau memiliki air minum atau susu?" "Aku memiliki semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya menyerupai kaum bangsawan. Aku mengira kalian itu niscaya melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana kisah perjalanan kalian itu!"
"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami dihentikan berdusta. Apakah kami akan selamat kalau kami menyampaikan yang sebenarnya?" "Ya," jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya kemudian menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka.
Mendengar kisah mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku kini terasa sesuatu menyerupai yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing kambing itu kepada pemiliknya. Nanti saya akan segera kembali lagi kepada kalian."

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia tiba lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu kisah Imam Ali hingga di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, kalau engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?" "Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan berjulukan Qithmir.
Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar belakang layar kita!
Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu. Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, kemudian duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan terang sekali: "Hai orangorang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal saya ini bersaksi tiada dewa selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah saya menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian saya mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t."
Anjing itu balasannya dibiarkan saja. Mereka kemudian pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari daerah duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"
Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu berjulukan Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di daerah itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua.
Sedang anjing yang semenjak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik badan mereka dari kanan ke kiri. Allah kemudian memerintahkan matahari supaya pada ketika terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada ketika hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius gres saja selesai berpesta ia bertanya perihal enam orang pembantunya. Ia menerima jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau saya hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan eksekusi yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang kerikil supaya mereka segera tiba ke mari!"
Setelah tukang-tukang kerikil itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen).
Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, biar mereka dikeluarkan dari daerah itu."

Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun. Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada ketika matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seolah-olah gres bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mataair itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. menciptakan mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk sanggup niendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan hingga membeli masakan yang dimasak dengan lemak-babi."

Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, saya sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!"
Setelah Tamlikha menggunakan baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya bersahabat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa yakni Roh Allah." Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, kemudian berkata seorang diri: "Kusangka saya ini masih tidur!"
Setelah agak lama memandang dan mengamat amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?" "Aphesus," sahut penjual roti itu. "Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti. "Kalau yang kaukatakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh gila sekali! Ambillah uang ini dan berilah masakan kepadaku!"
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, kemudian berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Imam Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti kemudian berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau gres menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan kuhadapkan kepada raja!" "Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini kudapat tiga hari yang kemudian dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota lantaran orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"
Tamlikha kemudian ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang gres ini seorang yang sanggup berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana kisah perihal orang ini?" "Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya. Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."
Tamlikha menjawab: "Baginda, saya sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku yakni penduduk kota ini!" Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?" "Ya. Benar," sahut Tamlikha. "Adakah orang yang kamu kenal?" tanya raja lagi. "Ya, ada," jawab Tamlikha. "Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau memiliki rumah di kota ini?" "Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!" Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu.

Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah rumahku!" Pintu rumah itu kemudian diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata lantaran sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, kemudian bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?" Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini yakni rumahnya!" Orang bau tanah itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa namamu?" "Aku Tamlikha anak Filistin!" Orang bau tanah itu kemudian berkata: "Coba ulangi lagi!" Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang bau tanah itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini yakni datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan bunyi haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan menyampaikan bahwa mereka itu akan hidup kembali!"

Peristiwa yang terjadi di rumah orang bau tanah itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera tiba menuju ke daerah Tamlikha yang sedang berada di rumah orang bau tanah tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan sahabat temanmu?" Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua. "Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang aristokrat istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang aristokrat itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya bersahabat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang aristokrat dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau hingga teman-temanku mendengar bunyi tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka niscaya mengira Diqyanius tiba dan mereka bakal mati semua. Oleh lantaran itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah saya sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!" Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!" Tamlikha menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?" "Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka. "Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka kini tiba untuk bertemu dengan kalian!" Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak mengakibatkan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?" "Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya. "Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat menyerupai itu juga," jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami perihal keanehan-keanehan yang kami alami kini ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!" Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka.

Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang aristokrat yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak sanggup ditemukan lubang atau saluran lainnya ke dalam gua. Pada ketika itu dua orang aristokrat tadi menjadi yakin perihal betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang aristokrat itu memandang semua tragedi yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka. Bangsawan yang beragama Islam kemudian berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah daerah ibadah di pintu guha itu." Sedang aristokrat yang beragama Kristen berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di pintu gua itu." Dua orang aristokrat itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, balasannya aristokrat Kristen terkalahkan oleh aristokrat yang beragama Islam.

Dengan terjadinya tragedi tersebut, maka Allah berfirman, yang artinya: "Orang-orang yang telah memenangkan urusan mereka berkata: 'Kami hendak mendirikan sebuah rumah peribadatan di atas mereka'…" (S. Al Kahfi: 21).

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, kini saya hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang kuceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu abjad pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, lantaran saya telah bersaksi bahwa tiada dewa selain Allah dan bahwa Muhammad yakni hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!"

Demikianlah hikayat perihal para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, goresan pena As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad.


Sumber http://anekacarapraktis.blogspot.com

Artikel Terkait

Kisah Ali Bin Abi Thalib Membeberkan Diam-Diam Ashabul Kahfi Kepada 3 Pendeta Yahudi
4/ 5
Oleh